Jumat, 19 Desember 2014

hukum nikah sirri, nikah beda agama, nikah saat hamil, nikah lewat telephon dan internet

BAB I

PENDAHULUAN



1.1  Latar Belakang

Islam menganjurkan umatnya untuk menikah, karena dalam pernikahan atas rumah tangga terdapat kemaslahatan-kemaslahatan dan manfaan-manfaat yang bisa dirasakan oleh individu maupun masyarakat. Berdasarkan ayat Al-Quran surah Ar-Rum:21 bahwa seseorang mempunyai hak untuk menikah dan berkeluarga, dan Allah pun menciptakan umatnya berpasang-pasangan dan yang demikian itu benar-benar tanda bagi kaum yang berfikir. Allah telah menciptakan dalam diri setiap makhluknya dorongan untuk menyatu dengan pasangannya apalagi masing-masing ingin mempertahankan eksistensi jenisnya, dari sini Allah menciptakan pada diri mereka naluri seksual.
Allah mensyariatkan bagi manusia perkawinan, agar kekacauan dalam pikirannya dan gejolak
jiwa itu mereda dan masing-masing memperoleh ketenangan. Adapun tentang Ijma, para ulama disepanjang sejarah islam telah sepakat atas disyariatkannya pernikahan. Pernikahan merupakan ibadah yang dengannya seseorang telah menyempurnakan setengah dari agamanya serta akan memenuhi Allah dalam keadaan suci dan bersih, pernikahan yang sah akan menjaga dan memelihara keturunan terhindar dari kekacauan keturunan.
Jadi, nikah menurut syara adalah akad yang menghalalkan hubungan suami istri dengan lafadz atau tazwij atau arti dari keduannya dengan memenuhi rukun-rukun dan syarat-syarat tertentu sehingga menimbulkan hak dan kewajiban antara keduanya. (Kholiq, 8:2002)





1.2  Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, dirumuskan rumusan masalah sebagai berikut :
1.      Apa pengertian nikah ?
2.       Apa rukun nikah ?
3.       Apa syarat nikah ?
4.       Apa hukum nikah sirri ?
5.      Apa hukum nikah beda agama ?
6.      Apa hukum nikah lewat telephon ?
7.      Apa hukum nikah lewat internet ?
8.      Apa hukum nikah saat hamil ?

1.3  Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan adapun tujuan penulisan makalah  ini adalah sebagai berikut :
1.        Untuk mengetahui pengertian nikah.
2.        Untuk mengetahui rukun nikah.
3.        Untuk mengetahui syarat nikah.
4.        Untuk mengetahui hukum nikah siri.
5.        Untuk mengetahui hukum nikah beda agama.
6.        Untuk mengetahui hukum nikah lewat telephon.
7.        Untuk mengetahui hukum nikah lewat internet.
8.        Untuk mengetahui hukum nikah saat hamil.



BAB II

PEMBAHASAN


2.1 Pengertian Nikah
Akad (nikah dari bahasa Arab عقد) atau ijab qabul, merupakan ikrar pernikahan. Yang dimaksud akad pernikahan adalah ijab dari pihak wali perempuan atau wakilnya dari qabul dari pihak calon suami atau wakilnya. Menurut syara’ nikah adalah satu akad yang berisi diperbolehkannya melakukan persetubuhan dengan menggunakan lafadz انكاح (menikahkan) atau تزويج (mengawinkan).  (Kholiq, 9 :2002)
2.2 Rukun Nikah
Dalam pernikahan terdapat rukun-rukun yang harus dipenuhi. Rukun-rukun nikah ada 5 :
1.    Suami (زوج)
2.    Istri (زوحة) dengan beberapa kriteria yaitu : tidak mahramnya sendiri, ta’yin, suci dari pernikahan, tidak dalam masa iddah, dan perempuan asli.
3.    Wali nikah (ولى نكاح). Harus memiliki beberapa persyaratan : islam, baligh, berakal, sifat merdeka, laki-laki, dan sifat-sifat lainnya. Tapi untuk pernikahan kafir dzimmi tidak memerlukan islamnya wali, dan untuk pernikahan amah tidak memerlukan syarat sifat adlnya tuan. Bagi fuqaha yang memegangi adanya wali, maka macam-macam wali itu ada tiga, yaitu: wali nasab (keturunan), wali penguasa, dan wali bekas tuan yang jauh dan yang dekat.
4.    Dua orang saksi (شا هدان) Nabi Muhammad bersabda :
لَا نِكَا حَ اِلَّا بِوَ لِيٍّ وَشَا هِدَي عَدْلٍ
Artinya: “ Perkawinan tidak sah kecuali dengan wali dan dua saksi yang adil.” ( H.R. Addaruquthni)
5.    Shigat

2.3 Syarat Nikah
Dalam pernikahan terdapat syarat-syarat nikah , diantaranya :
1. syarat calon pengantin laki-laki
a. Beragama Islam
b. Terang prianya ( bukan banci)
c. Tidak beristri 4 orang
d. Tiddak dipaksa
e. bukan mahram bakal istri
f. Tidak mempunyai isrti dalam yang haram dimadu dengan bakal istri
g. Mengetahui bakal istri tidak haram dinikahinya
h. tidak sedang dalam ihram atau umroh
2. Syarat calon pengantin wanita
a.Beragama Islam
b. Terang wanitanya
c. Telah memberi izin kepada wali untuk menikahkanya
d. Tidak bersuami dan tidak dalam iddah
e. bukan mahram bakal suami
f. belum pernah dili’an aleh bakal suami
h. Tidak sedang dalam ihram haji atau umroh
i. Terang orangya
3. Syarat wali
a. Beragama islam
b. Baligh
c. Berakal
d. Tidak dipaksa
e. Terang lelakinya
f. Adil  ( tidak fasik )
g. Tidak sedang ihram haji atau umroh
h.Tidak rusak fikiranya karena tua atau sebagainya
4. Syarat saksi
a. Beragama islam
b.Laki-Laki
c.Baligh
d.Berakal
e. Adil
f. Mendengar
g.Melihat
h.Bisa bercakap-cakap
i. Tidak pelupa
j. Menjaga harga diri ( Muru’ah)
k. Mengerti maksud ijab dab qobul
i. Tidak merangkap menjadi wali
5. Syarat Ijab dan Qobul
1. Syarat Ijab
a.    Tidak diperbolahkan mengunakan perkataan sindiran
b.    Diucapkan oleh wali atau wakilnya
c.    Tidak secara taklik(tiada sebutan persyaratan sewaktu ijab dilafazkan)
2. Syarat Qobul
a.       Ucapan harus sesuai dengan ucapan ijab
b.      Tiada perkataan sindiran
c.       Dilafazkan oleh bakal suami atau wakilnya
d.      Menyebutkan nama bakal istri
e.       Tidak diselani dengan perkataan lain

2.4 Hukum Nikah Sirri
Pernikahan semacam ini dilakukan secara rahasia (siri) dikarenakan pihak wali perempuan tidak setuju atau karena menganggap absah pernikahan tanpa wali atau hanya karena ingin memuaskan nafsu syahwat belaka tanpa mengindahkan lagi ketentuan-ketentuan syariat. pernikahan yang sah secara agama namun tidak dicatatkan dalam lembaga pencatatan negara.
Adapun hukum syariat atas ketiga fakta tersebut adalah sebagai berikut:
1.      Hukum Pernikahan Tanpa Wali
            Adapun mengenai fakta pertama, yakni pernikahan tanpa wali; sesungguhnya Islam telah melarang seorang wanita menikah tanpa wali. Ketentuan semacam ini didasarkan pada sebuah hadits yang dituturkan dari sahabat Abu Musa ra bahwasanya Rasulullah SAW bersabda:
لا نكاح إلا بولي
Artinya : “Tidak sah suatu pernikahan tanpa seorang wali.” (HR yang lima kecuali Imam An Nasaaiy, lihat Imam Asy Syaukani, NAILIL Authar VI: 230 hadits ke 2648).
      
لاتزوج المرأة المرأة لا تزوج نفسها فإن الزانية هي التي تزوج نفسها
Artinya :” Seorang wanita tidak boleh menikahkan wanita lainnya. Seorang wanita juga tidak berhak menikahkan dirinya sendiri. Sebab, sesungguhnya wanita pezina itu adalah (seorang wanita) yang menikahkan dirinya sendiri”. (HR. Ibnu Majah dan Ad Daruquthniy. Lihat, Imam Asy Syaukaniy, Nailul Authar VI: 231 hadits ke 2649)
Berdasarkan hadits-hadits di atas dapatlah disimpulkan bahwa pernikahan tanpa wali adalah pernikahan batil. Pelakunya telah melakukan maksiat kepada Allah SWT, dan berhak mendapatkan sanksi di dunia. Hanya saja, syariat belum menetapkan bentuk dan kadar sanksi bagi orang-orang yang terlibat dalam pernikahan tanpa wali.
Oleh karena itu, kasus pernikahan tanpa wali dimasukkan ke dalam bab ta’zir, dan keputusan mengenai bentuk dan kadar sanksinya diserahkan sepenuhnya kepada seorang Qadliy (hakim). Seorang hakim boleh menetapkan sanksi penjara, pengasingan, dan lain sebagainya kepada pelaku pernikahan tanpa wali.
2.      Nikah Tanpa Dicatatkan Pada Lembaga Pencatatan Sipil
Pernikahan yang tidak dicatatkan di lembaga pencatatan negara tidak boleh dianggap sebagai tindakan kriminal sehingga pelakunya berhak mendapatkan dosa dan sanksi di dunia. Pasalnya, pernikahan yang ia lakukan telah memenuhi rukun-rukun pernikahan yang digariskan oleh Allah swt. Adapun rukun-rukun pernikahan adalah sebagai berikut: (1) wali, (2) dua orang saksi, (3) ijab qobul. Jika tiga hal ini telah dipenuhi, maka pernikahan seseorang dianggap sah secara syariat walaupun tidak dicatatkan dalam pencatatan sipil.
Adapun, berkaitan hukum tidak mencatatkan pernikahan di lembaga pencatatan negara, maka kasus ini dapat dirinci sebagai berikut:
Pertama, pada dasarnya, fungsi pencatatan pernikahan pada lembaga pencatatan sipil adalah agar seseorang memiliki alat bukti (bayyinah) untuk membuktikan bahwa dirinya benar-benar telah melakukan pernikahan dengan orang lain. Sebab, salah bukti yang dianggap absah sebagai bukti syar’iy (bayyinah syar’iyyah) adalah dokumen resmi yang dikeluarkan oleh negara.
Kedua, pada era keemasan Islam, di mana sistem pencatatan telah berkembang dengan pesat dan maju, tidak pernah kita jumpai satupun pemerintahan Islam yang mempidanakan orang-orang yang melakukan pernikahan yang tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan resmi negara. para penguasa dan ulama-ulama kaum Muslim saat itu memahami bahwa hukum asal pencatatan pernikahan bukanlah wajib, akan tetapi mubah. Mereka juga memahami bahwa pembuktian syar’iy bukan hanya dokumen tertulis.
     Nabi saw sendiri melakukan pernikahan, namun kita tidak pernah menemukan riwayat bahwa melakukan pencatatan atas pernikahan beliau, atau beliau mewajibkan para shahabat untuk mencatatkan pernikahan mereka; walaupun perintah untuk menulis (mencatat) beberapa muamalah telah disebutkan di dalam Al-Quran,
     Ketiga, jika pernikahan siri dilakukan karena faktor biaya; maka pada kasus semacam ini negara tidak boleh mempidanakan dan menjatuhkan sanksi mukhalafat kepada pelakunya. Pasalnya, orang tersebut tidak mencatatkan pernikahannya dikarenakan ketidakmampuannya; sedangkan syariat tidak membebani seseorang di luar batas kemampuannya.
Keempat, pada dasarnya, Nabi saw telah mendorong umatnya untuk menyebarluaskan pernikahan dengan menyelenggarakan walimatul ‘ursy. Anjuran untuk melakukan walimah, walaupun tidak sampai berhukum wajib akan tetapi nabi sangat menganjurkan (sunnah muakkadah). Nabi saw bersabda;

حَدَّثَنَا أَوْلِمْوَلَوْ بِشَاةٍ

Artinya: “Adakah walimah walaupun dengan seekor kambing”. (HR. Imam Bukhori dan Muslim)
Banyak hal-hal positif yang dapat diraih seseorang dari penyiaran pernikahan; di antaranya adalah:
(1)   untuk mencegah munculnya fitnah di tengah-tengah masyarakat.
(2)   memudahkan masyarakat untuk memberikan kesaksiannya, jika kelak ada persoalan-persoalan yang menyangkut kedua mempelai.
(3)   memudahkan untuk mengidentifikasi apakah seseorang sudah menikah atau belum.
Hal semacam ini tentunya berbeda dengan pernikahan yang tidak disiarkan, atau dirahasiakan. Selain akan menyebabkan munculnya fitnah misalnya jika perempuan yang dinikahi siri hamil, maka akan muncul dugaan-dugaan negatif dari masyarakat terhadap perempuan tersebut, pernikahan siri juga akan menyulitkan pelakunya ketika dimintai persaksian mengenai pernikahannya. Jika ia tidak memiliki dokumen resmi, maka dalam semua kasus yang membutuhkan persaksian, ia harus menghadirkan saksi-saksi pernikahan sirinya dan hal ini tentunya akan sangat menyulitkan dirinya.
Atas dasar itu, anjuran untuk mencatatkan pernikahan di lembaga pencatatan negara menjadi relevan, demi mewujudkan kemudahan-kemudahan bagi suami isteri dan masyarakat serta untuk mencegah adanya fitnah.

2.5 Hukum Nikah Beda Agama
Dalam fiqih Munakahat, maalah nikah dibedakan dalam dua kategori :
1.    Pria Muslim boleh menikah dengan wanita non-muslim
Mayoritas Ulama  berpendapat bahwa wanita non muslim selain Yahudi dan Nasrani, haram dinikahi oleh pria muslim (Wanita Hindu, Budha, Konghucu, dan lain-lain). Hal ini berdasarkan pada firman Allah SWT :

وَلا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلأمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ أُولَئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ

Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.(QS. Al-Baqarah : 221)

Hanya saja dikalangan para ulama terjadi perbedaan pendapat mengenai wanita yang haram dinikahi Ibnu Jarir al-Thabari dan Syaikh Muhammad Anduh nerpendapat, bahwa yang dimaksud musyrikah dalam ayat itu hanyalah wanita musyrik arab saja, karena bangsa Arab pada saat turunnya Al-Qur’an tidak mengenal kitab suci. Jadi wanita Cina, India, Jepang dan lain-lain boleh dinikahi oleh pria muslim.
2.    Wanita Muslimah Haram Menikah dengan Pria Non Muslim
Wanita Muslimah haram dinikahi dengan pria non-muslim baik Yahudi maupun Nsrani yang sesuai pada QS Al Baqarah ayat 221.
Adapun haram mutlaknya wanita muslimah nkah dengan pria non-muslim adalah :
a.         Tidak ada ayat lain yang dapat dipahami sebagai pengecualian, seperti Al Maidah yang “mengecualikan” wanita Ahli kitab
b.         Dalam Islam Nasab itu mengacu pada pria/suami. akan menjadi masalah jika ayah non-muslim  mempunyai anak perempuan Islam, karena dia tidak berhak menjadi wali pernikahannya.
c.         Suami itu ditetapkan sebagai pemimpin bagi seluruh anggota keluarga (istri dan anaknya). Bagaimana jadinya jika pemimpin bertentangan dengan ajaran Islam, maka pastilah buruk akibatnya.
Oleh karena itu pernikahan anatara wanita muslimah dengan pria non-muslim hukumnya tidak sah dan haram. Persetubuan mereka termasuk zina.
2.6 Hukum Nikah Lewat Telephon
Menentukan sah atau tidaknya suatu nikah, tergantung pada dipenuhinya atau tidaknya rukun-rukun nikah dan syarat-syaratnya. Secara formal, nikah lewat telepon dapat memenuhi rukun-rukunnya, yakni adanya calon suami dan istri, dua saksi, wali pengantin putri, ijab qabul. Namun, jika dilihat dari syarat-syarat dari tiap-tiap rukunnya, tampaknya ada kelemahan atau kekurangan untuk dipenuhi.
Misalnya identitas calon suami istri perlu dicek ada atau tidaknya hambatan untuk  nikah (baik karena adanya larangan agama atau peraturan perundangan-undangan) atau ada tidaknya persetujuan dari kedua belah pihak. Pengecekan masalah ini lewat telepon sebelum akad nikah adalah cukup sukar. Demikian pula pengecakan tentang identitas wali yang tidak bisa tanpa taukil, kemudian ia melangsungkan ijab qabul langsung dengan telepon. Juga para saksi yang hanya mendengar pernyataan ijab qabul dari wali dan pengantin putera lewat telepon dengan bantuan mikrofon, tetapi mereka tidak bisa melihat apa yang disaksikan juga kurang meyakinkan.
Karena itu, menikah lewat telepon itu tidak diperbolehkan dan tidak sah menurut hukum islam, karena selain terdapat kelemahan atau kekurangan dan keraguan dalam memenuhi rukun-rukun nikah lewat dan syarat-syaratnya sebagaimana diuraikan diatas, juga berdasarkan dalil-dalil syar’i sebagai berikut :
a.    Nikah itu termasuk ibadah. Karena itu, pelaksanaan nikah harus sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an dan sunah Nabi yang shahih, berdasarkan kaidah hukum :
الْاَصْلُ فِي ا لْعِبَا دَةِ حَرَ ا مٌ
“pada dasarnya ibadah itu haram.”
Artinya: dalam masalah ibadah, manusia tidak boleh membuat-buat (merekayasa) aturan sendiri.
b.    Nikah merupakan peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan manusia, dan itu bukanlah sembarang akad, tetapi merupakan akad yang mengandung sesuatu yang sakral dan syiar islam serta tanggung jawab yang berat bagi suami istri, sebagaimana firman Allah dalam surat An-nisa :21.
وَأَخَذْنَ مِنْكُمْ مِيثَاقًا غَلِيظًا…..
“...dan mereka (isteri-isterimu) Telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.”(Q.S An-nisa : 21)

c.    Nikah lewat telepon dan internet mengandung resiko tinggi berupa kemungkinan adanya penyalahgunaan atau penipuan (gharar atau khida’), dan dapat pula menimbulkan keraguan (cafused atau syak), apakah telah terpenuhi atau tidak rukun-rukun dan syarat-syarat nikahnya dengan baik. Salah satu syarat yang harus dipenuhi yaitu hadir dalam tempat yang sama (حضور فِى مَجْلِسٍ وَا حِدٍ).

{فَرْعٌ} يُشْتَرَطُ فِيْ صِحَّةِ عَقْدِ النِّكَا حِ حُضُوْرٌ اَرْ بَعَةٍ : وَلِىِّ وَزَوْجٍ وَشَا هِدَي عَدْل{فى كفا يت الا خيا ر الجز :٢,الصفة :٥۱}
(cabang) dan disyaratkan dalam keabsahan akad nikah hadirnya empat orang: wali, calon pengantin dan dua orang saksi yang adil.( Kifayatul Akhyar  juz 2 hal. 51)

وَمِمَّا تَركهُ مِنْ شُرُوْطِ الشَّا هِدَ يْنِ السَّمْعَ وَالْبَصَرُ وَالْضَّبْطُ.{ قَوْ لُهُ وَ الضَّبْطُ} اَيْ لالفَا ظِ وَلِىّ الزَّوْ جَة وَ الزَّوْجُ فَلَا يَكْفِى سَمَا ع الفَا ظهُمَا فِي وَظلمَة لِاَنَّ الْاَ صْوَات تَشْبِيْه{ فى بجير مى على الخطيب الجز :٣,الصفة : ٣٣٥ }

Mendengar, melihat dan (dlobith) membenarkan adalah bagian dari syarat diperkenankannya dua orang saksi. (pernyataan penyusun ‘wa al dlobthu) maksudnya lafadz (pengucapan) dari wali pengantin putri dan pengantin pria, maka tidaklah cukup mendengar lafadz (perkataan) mereka berdua dikegelapan, karena suara itu (mengandung) keserupaan.(Hasiyah Al-Bujairomi ‘Ala al-Khottib juz 3, hal. 335)
Dikhawatirkan jika akad dilaksanakan jarak jauh maka akan terjadi manipulasi. Misalnya suaranya di dubbing ataupun gambarnya dan backgroundnya tidak sesuai dengan kenyataan. Hal ini akan merugikan pihak perempuan. Karena perempuan harus dihormati, islam mengajarkan itu. Dan yang demikian itu tidak sesuai dengan hadits Nabi atau kaidah fiqih.
Hadits Nabi saw
دَعْ مَا يَرِ يْبُكَ اِلَى مَا لَا يَرِ يْبُكَ
“Tinggalkanlah sesuatu yang merugikan engkau, (berpeganglah) dengan sesuatu yang tidak merugikan engkau.”
Dan tidak sesuai dengan kaidah fiqih :
دَرْعُ ا لْمَفَا سِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ ا لْمَصَا لِحِ
 “menghindari mafsadah (resiko) harus didahulukan atas usaha menarik (mencari) maslahah.”

2.7 Hukum Nikah Lewat Internet
Akhir-akhir ini banyak orang yang menanyakan hukum menikah lewat telpun atau internet, apakah sah menurut pandangan Syariah ?
Jika tidak sah, bagaimana solusinya bagi orang-orang yang tempatnya saling berjauhan, sebagaimana yang terjadi pada diri salah seorang TKW yang bekerja di Hongkong dengan masa kontrak 2 tahun, kebetulan dia punya kenalan orang dari Solo, keduanya saling mencintai dan ingin segera melakukan akad pernikahan, sedang kondisi mereka berdua tidak memungkinkan untuk saling bertemu dalam waktu secepatnya, apa yang harus mereka kerjakan, menikah lewat telephon atau internet, atau bagaimana ?
Untuk menjawab pertanyaan di atas, perlu dijelaskan di sini bahwa proses pernikahan dalam islam mempunyai aturan-aturan yang ketat. Sebuah akad pernikahan yang sah harus terpenuhi rukun dan syarat-syaratnya. Rukunnya adalah ijab dan qabul, sedang syaratnya adalah ijin dari wali perempuan dan kehadiran dua orang saksi. Ini semua harus dilakukan denganan jelas dan transparan, sehingga tidak ada unsur penipuan dan pengelabuhan.
Oleh karena itu, calon suami atau wakilnya  harus hadir di tempat, begitu juga wali perempuan atau wakilnya harus hadir di tempat, dan kedua saksipun harus hadir di tempat untuk menyaksikan akad pernikahan.
Maka untuk menentukan hukumnya, paling tidak ada dua syarat sah nikah yang harus dibahas terlebih dahulu :
1.    Syarat pertama: calon mempelai laki-laki atau yang mewakilinya harus berada dalam satu majelis ketika dilangsungkan akad pernikahan dianggap dalam satu majlis, sehingga transaksi tersebut menjadi sah ? 
Dalam hal ini, Majma’ al Fiqh telah menetapkan hukum penggunaan ponsel, hp, dan internet di dalam melakukan transaksi, yang isinya sebagai berikut: “Jika transaksi antara kedua pihak berlangsung dalam satu waktu, sedangkan mereka berdua berjauhan tempatnya, tetapi menggunakan telephon, maka transaksi antara keduanya dianggap transaksi antara dua pihak yang bertemu dalam satu majelis.”( Majalah Majma’ al Fiqh al Islami, OKI, periode ke -6 (no: 2/1256)
2.    Syarat Kedua: pernikahan tersebut harus disaksikan oleh dua orang atau lebih.
Pertanyaannya adalah dua saksi pernikahan tersebut tidak bisa menyaksikan secara langsung akad pernikahan tersebut, mereka berdua hanya bisa mendengar suara akad pernikahan dari kedua belah pihak melalui telpun atau internet, apakah persaksian keduanya telah dianggap sah atau tidak ?
Masalah di atas mirip dengan  masalah persaksian orang buta yang mendengar sebuah transaksi antara dua belah pihak, apakah  persaksian orang buta tersebut sah ?
Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini :
a.    Pertama menyatakan bahwa persaksian orang buta tersebut tidak bisa diterima. Ini pendapat Hanafiyah dan Syafi’iyah.
Berkata al Kasani: “ Persaksian orang buta tidak diterima dalam semua hal. Karena dia tidak bisa membedakan antara kedua belah pihak. “ ( Badai’ Shonai’ 3/243 )
Berkata Imam Syafi’I: “ Jika seseorang memberikan persaksian, sedangkan dia buta dan mengatakan : saya menetapkannya, sebagaimana saya menetapkan segala sesuatu dengan mengetahui suaranya atau dengan meraba, maka persaksian orang buta tersebut tidak bisa diterima, karena suara mempunyai kemiripan satu dengan yang lainnya, begitu juga  rabaan mempunyai kemiripan antara satu dengan yang lainnya “ ( Al Umm : 7/46 )
b.    Kedua menyatakan bahwa persaksian orang buta bisa diterima selama dia menyakini suara tersebut. Ini adalah pendapat Malikiyah dan Hanabilah.
Tersebut di dalam buku al Mudawanah al Kubra (5/ 43) : “ Apakah dibolehkan seorang buta memberikan persaksian di dalam masalah perceraian ?
Berkata Imam Malik: “ Iya, dibolehkan jika ia mengenali suara tersebut. Berkata Ibnu al Qasim: Aku bertanya kepada Imam Malik: “Seorang laki-laki mendengar tetangganya dari balik tembok sementara dia tidak melihatnya, ia mendengar tetangga tersebut mencerai istrinya, kemudian dia menjadi saksi atasnya berdasarkan suara yang dia kenal ?
Imam Malik menjawab : persaksiannya diperbolehkan.”
Di dalam kitab Ad Dzakhirah (10/164) disebutkan: “ Kesaksian orang buta terhadap pembicaraan diperkenankan (dianggap sah)
Di dalam kitab Mukhtashor al Khiraqi  (hlm : 145) disebutkan: “Diperbolehkan persaksian orang buta jika dia yakin dengan suara tersebut “
Pendapat kedua ini berdalil dengan beberapa hadist, diantaranya adalah :
1.                  Hadist Abdullah bin Umar ra, bahwasanya nabi Muhammad saw bersabda : “ Sesungguhnya Bilal mengumandangkan adzan pada waktu malam, maka makan dan minumlah sampai terdengar adzan Ibnu Maktum “ ( HR Bukhari )
Hadist di atas menunjukkan bahwa adzan Ibnu Maktum (beliau adalah seorang yang buta) merupakan persaksian darinya terhadap masuknya waktu sholat. Seandainya persaksian orang buta tertolak, tentunya adzannya juga tidak sah.  Begitu juga yang mendengar adzan digolongkan orang yang buta, karena hanya mendengar suara muadzin tanpa melihat secara langsung fisik dari muadzin tersebut, dan itupun dianggap sah.  (Ibnu Abdul Barr, Tamhid: 10/61, An Nawawi, Syarh Muslim: 7/202, Ibnu Hajar, Fathul Bari : 5/ 265)
2.                  Dari Aisyah berkata: “ Pada suatu ketika Rasulullah saw sholat tahajud di rumahku, dan beliau mendengar suara Ubad yang sedang sholat di masjid, beliau bertanya “ Wahai Aisyah apakah itu suara Ubad?, saya menjawab: “Benar“, beliau langsung berdo’a: “Ya Allah berilah kasih sayang kepada Ubad. “ ( HR Bukhari )
Dua hadist di atas menunjukkan secara kuat bahwa persaksian orang buta dibolehkan dan dianggap sah di dalam ibadah dan mua’malah. Jika demikian halnya, bagaimana hukum persaksian dua orang di dalam akad pernikahan lewat telpun maupun internet, apakah dianggap sah ?
Orang yang menikah lewat telpun dan internet tidak lepas dari dua keadaan :
1.    Keadaan Pertama : Salah satu pihak yang melakukan akad serta dua orang saksi tidak yakin dengan suara pihak kedua. Maka dalam hal ini, pernikahan lewat telpun dan internet hukumnya tidak sah.
Inilah yang diputuskan oleh  Lajnah Daimah li al Ifta’ ketika ditanya masalah tersebut, mereka memutuskan sebagai berikut :Dengan pertimbangan bahwa pada hari-hari ini banyak penipuan dan manipulasi, serta canggihnya orang untuk meniru pembicaraan dan suara orang lain, bahkan diantara mereka ada yang bisa meniru suara sekelompok laki-laki dan perempuan baik yang dewasa maupun yang masih anak-anak, dia meniru suara dan bahasa mereka yang bermacam-macam sehingga bisa menyakinkan orang yang mendengar bahwa yang bicara tersebut adalah orang banyak, padahal sebenarnya hanya satu orang. Sehingga memanipulasi adanya sebuah penipuan.
2.    Keadaan Kedua : kedua belah pihak yang melakukan akad sangat mengenal suara antara satu dengan yang lain, begitu juga dua orang saksi yakin bahwa itu suara dari pihak kedua yang melakukan akad. Pada kondisi seperti ini, persaksian atas pernikahan tersebut dianggap sah, dan pernikahannya sah juga. Khususnya dengan kemajuan teknologi sehingga seseorang bisa bicara langsung dengan pihak kedua melalui gambar dan suara, sebagaimana yang terdapat dalam teleconference.
Tetapi walaupun demikian tidak dianjurkan bagi orang yang ingin menikah untuk menggunakan alat teknologi seperti yang diterangkan di atas kecuali dalam keadaan terpaksa dan darurat, hal itu untuk sifat kehati-hatian di dalam melakukan pernikahan karena berhubungan dengan kehormatan seseorang. Wallahu A’lam.
2.8 Hukum Nikah Saat Hamil
jumhur fuqoha’ (mayoritas ulama) berpendapat, bahwa pezina tidak haram menikah dengan bukan pezina, dan nikahnya tetap sah karena perbuatan zina tidak mengeluarkan seseorang dari islam, yang berarti masih nikah sesama orang islam, jadi sah. Memang Allah SWT berfirman (yang maknanya): “laki laki pezina tidak pantas menikah selain menikah dengan wanita pezina atau musyrikah, demikian pula wanita pezina tidak pantas dinikahi oleh selain lal=ki laki pezina atau musyri. Yang demikian itu dilarang bagi orang orang beriman“ (an-Nuur ayat 3), tetapi mereka memahami, bahwa kata “dilarang” dalam penutup ayat 3 surat an-Nuur ini bukan litachriim (untuk mengharamkan) melainkan lidzdzam (untuk mencela).
Bagaimana halnya dengan  menikahi wanita yang sedang hamil dari perzinaan ? atau dengan ungkapan lain, bagaimana jika wanita pezina itu dalam keadaan hamil akibat perzinaan, bolehkah dinikahi ?
Imam Abu Hanifah dan fuqaha’ Syafi’iyyah berpendapat, bahwa menikahi wanita yang hamil diluar nikah itu boleh, tetapi tidak boleh berhubungan (bersetubuh) sampai dia melahirkan. Hal ini didasarkan pada makna firman Allah SWT dalam surat an-Nisa’ ayat 23-24 yang menjelaskan tentang  wanita-wanita yang haram dinikahi. Dalam ayat itu sama sekali tidak disebut=sebut wanita pezina dan wanita hamil karena zina sebagai yang terlarang dinikahi. Juga atas dasar pemahaman terhadap sebuah hadits , bahwa Rasulullah SAW bersabdah (yang manknanya): ’’Anak itu dinisbahkan kepada orang yang seranjang dengan ibunya”(HR. Al Jama’ah selain Abu Dawud, dari Hurairah). Dari hadis tersebut difahami, bahwa orang yang menikah dengan wanita yang hamil karena zina hukumnya sah karena jelas, bahwa dia bukan bapak dari anak yang dikandung, sebab ranjangnya sudah ditiduri oleh orang sebelumnya. Jadi disamping tidak haram nikah dengan sesama pezina, juga tidak haram pezina nikah dengan orang lain. Yang dilarang adalah melakukan hubungan seksual sampai wanita tersebut melahirkan, sebagaimana Rasulullah SAW melarang menyirami kebun orang lain yang telah mempunyai tanaman (HR at-Turmudziy dari Ruwaifa’). Larangan yang bernada kiasan ini bertujuan untuk menghindari terjadinya percampuran keturunan dalam satu rahim.
Di Indonesia, wanita hamil diluar nikah dapat dinikahkan semasa dia dalam keadaan hamil. Dalam undang undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan , bab VIII pasal 53 dinyatakan : (1) Seorang wanita hamil diluar nikah dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya, (2) Perkawinan dengan wanita hamil itu dapat dilangsungkan tanpa menunggu kelahiran anaknya, (3) Dengan dilangsungkanya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan lagi perkawinan ulang setelah anaknya lahir.
Jadi yang diperbolehkan undang undang ini adalah khusus bagi pria yang menghamilinya, tidak disebutkan pria lain yang tidak menghamili, tidak disebutkan boleh tidaknya menikahi wanita hamil yang bukan hasil kerja ranjangnya, Tetapi dapat dipahami secara implisit, tidak diperbolehkan.
BAB III
PENUTUP


3.1 Kesimpulan
Selain ijab qabul, kesaksian dari dua orang saksi juga merupakan syarat dari pernikahan, kecuali pendapat Imam Malik. Adanya saksi harus benar-benar melihat dan mendengar langsung para pihak melakukan ijab qabul. Pernikahan tidak sah apabila saksi hanya mendengar suara tanpa rupa dari para pihak, sebab kesaksian saksi yang demikian tidak dapat menimbulkan keyakinan dalam dirinya.
Namun menurut Hanafiyyah dan Ibnu Hajar dari Ulama Syafi’iyah berpendapat, jika para saksi meyakini bahwa suara (audio) atau gambar (visual) yang ia dengar dan lihat memang benar-benar dari pihak, maka kesaksiannya dapat dibenarkan dan pernikahannya sah. Kemudian apabila ditarik kepada pokok masalah hukum melakukan pernikahan via telekomference, maka kami dapat menyimpulkan sebagai berikut:
a.       Pernikahan melalui telekomference dalam kontek negara Indonesia tidak sah karena merujuk beberapa alasan, yaitu :
1.      Para pihak tidak hadir secara fisik dalam satu majelis sebagaimana yang dipendapatkan oleh Jumhur Ulama.
2.      Alat komunikasi seperti HP, Email, dan yang sah menurut Undang-undang di Indonesia untuk memutuskan persengketaan hukum. Sebab keberadaan saksi mengandung hikmah tasyrik yaitu menguatkan dan menetapkan suatu peristiwa yang terjadi apabila nantinya terjadi persengketaan. Alat elektronik dalam kontek hukum di Indonesia belum bisa dijadikan sebagai alat bukti yang sah dan autentik.
b.      Jika salah satu calon mempelai berjauhan dan sulit untuk hadir, maka ada dua alternatif, yaitu :
1. Membuat surat. Ijab atau Qabul dapat dilakukan melalui sepucuk surat bermaterai dan membacanya di depan para saksi. Hal ini berpedoman kepada dua dasar pendapat ulama Hanafiyyah dan sebagian ulama Syafi’iyah yang memperbolehkan ijab dan qabul memakai surat. Dalam kontek hukum negara Indonesia, surat yang bermaterai dijadikan alat bukti yang autentik.
2. Mengangkat Wakil. Calon mempelai yang ada di kajauhan dapat mengangkat seorang wakil untuk melangsungkan ijab atau qabul, tentunya perwakilan tersebut harus disertai surat mandat bermaterai. Hal ini berdasarkan dua alasan; pertama, para ulama sepakat bahwa akad pernikahan (ijab qabul) dapat diwakilkan kepada orang lain, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW. Kedua, menurut Undang-undang Indonesia, perwakilan dengan disertai surat mandat resmi (bermaterai) dapat dibenarkan dan mempunyai kekuatan hukum.









DAFTAR PUSTAKA


Ibrahim, al Bajuri, Semarang: Toha Putra
Kholiq Muhammad. Fiqih Penunjang Aktif Belajar, Gresik: CV Putra Kembar Jaya, 2002.
Labib, Risalah Fiqih Islam, Surabaya: Bintang Usaha Jaya
Maulaya Abu. Fiqih Kontemporer, Jombang: UNIPDU, 2012.
Suyuti  Jalaludin, Jami’ al Shaghir, Beirut: Darul Kutub Ilmiah
Zuhdi, Masjfuk. Pengantar Ulumul Qur’an, Surabaya: PT Bina Ilmu, 1987




Tidak ada komentar:

Posting Komentar