BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Islam menganjurkan umatnya untuk
menikah, karena dalam pernikahan atas rumah tangga terdapat
kemaslahatan-kemaslahatan dan manfaan-manfaat yang bisa dirasakan oleh individu
maupun masyarakat. Berdasarkan ayat Al-Quran surah Ar-Rum:21 bahwa seseorang
mempunyai hak untuk menikah dan berkeluarga, dan Allah pun menciptakan umatnya
berpasang-pasangan dan yang demikian itu benar-benar tanda bagi kaum yang
berfikir. Allah telah menciptakan dalam diri setiap makhluknya dorongan untuk
menyatu dengan pasangannya apalagi masing-masing ingin mempertahankan
eksistensi jenisnya, dari sini Allah menciptakan pada diri mereka naluri
seksual.
Allah mensyariatkan bagi manusia
perkawinan, agar kekacauan dalam pikirannya dan gejolak
jiwa itu mereda dan
masing-masing memperoleh ketenangan. Adapun tentang Ijma, para ulama
disepanjang sejarah islam telah sepakat atas disyariatkannya pernikahan.
Pernikahan merupakan ibadah yang dengannya seseorang telah menyempurnakan
setengah dari agamanya serta akan memenuhi Allah dalam keadaan suci dan bersih,
pernikahan yang sah akan menjaga dan memelihara keturunan terhindar dari
kekacauan keturunan.
Jadi, nikah menurut syara adalah akad
yang menghalalkan hubungan suami istri dengan lafadz atau tazwij atau arti dari
keduannya dengan memenuhi rukun-rukun dan syarat-syarat tertentu sehingga
menimbulkan hak dan kewajiban antara keduanya. (Kholiq, 8:2002)
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang diatas, dirumuskan rumusan masalah sebagai berikut :
1. Apa
pengertian nikah ?
2. Apa rukun nikah ?
3. Apa syarat nikah ?
4. Apa hukum nikah sirri ?
5. Apa
hukum nikah beda agama ?
6. Apa
hukum nikah lewat telephon ?
7. Apa
hukum nikah lewat internet ?
8. Apa
hukum nikah saat hamil ?
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan
penulisan adapun tujuan penulisan makalah
ini adalah sebagai berikut :
1.
Untuk mengetahui pengertian nikah.
2.
Untuk mengetahui rukun nikah.
3.
Untuk mengetahui syarat nikah.
4.
Untuk mengetahui hukum nikah siri.
5.
Untuk mengetahui hukum nikah beda agama.
6.
Untuk mengetahui hukum nikah lewat
telephon.
7.
Untuk mengetahui hukum nikah lewat
internet.
8.
Untuk mengetahui hukum nikah saat hamil.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Nikah
Akad (nikah dari bahasa
Arab عقد) atau ijab qabul, merupakan ikrar pernikahan. Yang dimaksud
akad pernikahan adalah ijab dari pihak wali perempuan atau wakilnya dari qabul
dari pihak calon suami atau wakilnya. Menurut syara’ nikah adalah satu akad
yang berisi diperbolehkannya melakukan persetubuhan dengan menggunakan
lafadz انكاح (menikahkan) atau تزويج (mengawinkan). (Kholiq, 9 :2002)
2.2 Rukun Nikah
Dalam pernikahan terdapat rukun-rukun yang harus dipenuhi. Rukun-rukun
nikah ada 5 :
1. Suami (زوج)
2. Istri (زوحة)
dengan beberapa kriteria yaitu : tidak mahramnya sendiri, ta’yin, suci dari
pernikahan, tidak dalam masa iddah, dan perempuan asli.
3. Wali nikah (ولى نكاح).
Harus memiliki beberapa persyaratan : islam, baligh, berakal, sifat merdeka,
laki-laki, dan sifat-sifat lainnya. Tapi untuk pernikahan kafir dzimmi tidak
memerlukan islamnya wali, dan untuk pernikahan amah tidak memerlukan syarat
sifat adlnya tuan. Bagi fuqaha yang memegangi adanya wali, maka macam-macam
wali itu ada tiga, yaitu: wali nasab (keturunan), wali penguasa, dan wali bekas
tuan yang jauh dan yang dekat.
4. Dua orang saksi (شا هدان) Nabi Muhammad bersabda :
لَا نِكَا حَ اِلَّا بِوَ لِيٍّ وَشَا هِدَي عَدْلٍ
Artinya: “ Perkawinan tidak sah
kecuali dengan wali dan dua saksi yang adil.” ( H.R. Addaruquthni)
5. Shigat
2.3 Syarat Nikah
Dalam
pernikahan terdapat syarat-syarat nikah , diantaranya :
1. syarat calon pengantin laki-laki
a. Beragama Islam
b. Terang prianya ( bukan banci)
c. Tidak beristri 4 orang
d. Tiddak dipaksa
e. bukan mahram bakal istri
f. Tidak mempunyai isrti dalam yang haram dimadu
dengan bakal istri
g. Mengetahui bakal istri tidak haram dinikahinya
h. tidak sedang dalam ihram atau umroh
2. Syarat calon pengantin wanita
a.Beragama Islam
b. Terang wanitanya
c. Telah memberi izin kepada wali untuk menikahkanya
d. Tidak bersuami dan tidak dalam iddah
e. bukan mahram bakal suami
f. belum pernah dili’an aleh bakal suami
h. Tidak sedang dalam ihram haji atau umroh
i. Terang orangya
3. Syarat wali
a. Beragama islam
b. Baligh
c. Berakal
d. Tidak dipaksa
e. Terang lelakinya
f. Adil ( tidak
fasik )
g. Tidak sedang ihram haji atau umroh
h.Tidak rusak fikiranya karena tua atau sebagainya
4. Syarat saksi
a. Beragama islam
b.Laki-Laki
c.Baligh
d.Berakal
e. Adil
g.Melihat
h.Bisa bercakap-cakap
i. Tidak pelupa
j. Menjaga harga diri ( Muru’ah)
k. Mengerti maksud ijab dab qobul
i. Tidak merangkap menjadi wali
5. Syarat Ijab dan Qobul
1. Syarat Ijab
a.
Tidak diperbolahkan mengunakan perkataan
sindiran
b.
Diucapkan oleh wali atau wakilnya
c.
Tidak secara taklik(tiada sebutan
persyaratan sewaktu ijab dilafazkan)
2. Syarat Qobul
a.
Ucapan harus sesuai dengan ucapan ijab
b.
Tiada perkataan sindiran
c.
Dilafazkan oleh bakal suami atau
wakilnya
d.
Menyebutkan nama bakal istri
e.
Tidak diselani dengan perkataan lain
2.4 Hukum Nikah Sirri
Pernikahan
semacam ini dilakukan secara rahasia (siri) dikarenakan pihak wali perempuan
tidak setuju atau karena menganggap absah pernikahan tanpa wali atau hanya
karena ingin memuaskan nafsu syahwat belaka tanpa mengindahkan lagi
ketentuan-ketentuan syariat. pernikahan yang sah secara agama namun tidak
dicatatkan dalam lembaga pencatatan negara.
Adapun hukum
syariat atas ketiga fakta tersebut adalah sebagai berikut:
1. Hukum
Pernikahan Tanpa Wali
Adapun
mengenai fakta pertama, yakni pernikahan tanpa wali; sesungguhnya Islam telah
melarang seorang wanita menikah tanpa wali. Ketentuan semacam ini didasarkan
pada sebuah hadits yang dituturkan dari sahabat Abu Musa ra bahwasanya
Rasulullah SAW bersabda:
لا نكاح إلا
بولي
Artinya : “Tidak sah suatu pernikahan tanpa seorang
wali.” (HR yang lima kecuali Imam An Nasaaiy, lihat Imam Asy Syaukani, NAILIL
Authar VI: 230 hadits ke 2648).
لاتزوج المرأة المرأة لا تزوج نفسها فإن الزانية هي التي تزوج نفسها
Artinya :” Seorang wanita tidak boleh menikahkan
wanita lainnya. Seorang wanita juga tidak berhak menikahkan dirinya sendiri.
Sebab, sesungguhnya wanita pezina itu adalah (seorang wanita) yang menikahkan
dirinya sendiri”. (HR. Ibnu Majah dan Ad Daruquthniy. Lihat, Imam Asy
Syaukaniy, Nailul Authar VI: 231 hadits ke 2649)
Berdasarkan hadits-hadits
di atas dapatlah disimpulkan bahwa pernikahan tanpa wali adalah pernikahan
batil. Pelakunya telah melakukan maksiat kepada Allah SWT, dan berhak
mendapatkan sanksi di dunia. Hanya saja, syariat belum menetapkan bentuk dan
kadar sanksi bagi orang-orang yang terlibat dalam pernikahan tanpa wali.
Oleh karena
itu, kasus pernikahan tanpa wali dimasukkan ke dalam bab ta’zir, dan keputusan
mengenai bentuk dan kadar sanksinya diserahkan sepenuhnya kepada seorang Qadliy
(hakim). Seorang hakim boleh menetapkan sanksi penjara, pengasingan, dan lain
sebagainya kepada pelaku pernikahan tanpa wali.
2.
Nikah Tanpa Dicatatkan Pada Lembaga Pencatatan Sipil
Pernikahan yang tidak dicatatkan di lembaga pencatatan negara tidak boleh
dianggap sebagai tindakan kriminal sehingga pelakunya berhak mendapatkan dosa
dan sanksi di dunia. Pasalnya, pernikahan yang ia lakukan telah memenuhi
rukun-rukun pernikahan yang digariskan oleh Allah swt. Adapun rukun-rukun pernikahan
adalah sebagai berikut: (1) wali, (2) dua orang saksi, (3) ijab qobul. Jika
tiga hal ini telah dipenuhi, maka pernikahan seseorang dianggap sah secara
syariat walaupun tidak dicatatkan dalam pencatatan sipil.
Adapun, berkaitan hukum tidak mencatatkan pernikahan di lembaga pencatatan
negara, maka kasus ini dapat dirinci sebagai berikut:
Pertama, pada
dasarnya, fungsi pencatatan pernikahan pada lembaga pencatatan sipil adalah
agar seseorang memiliki alat bukti (bayyinah) untuk membuktikan bahwa dirinya
benar-benar telah melakukan pernikahan dengan orang lain. Sebab, salah bukti
yang dianggap absah sebagai bukti syar’iy (bayyinah syar’iyyah) adalah dokumen
resmi yang dikeluarkan oleh negara.
Kedua, pada era keemasan Islam, di mana
sistem pencatatan telah berkembang dengan pesat dan maju, tidak pernah kita
jumpai satupun pemerintahan Islam yang mempidanakan orang-orang yang melakukan
pernikahan yang tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan resmi negara. para
penguasa dan ulama-ulama kaum Muslim saat itu memahami bahwa hukum asal
pencatatan pernikahan bukanlah wajib, akan tetapi mubah. Mereka juga memahami
bahwa pembuktian syar’iy bukan hanya dokumen tertulis.
Nabi saw sendiri melakukan pernikahan, namun kita tidak pernah menemukan riwayat bahwa melakukan pencatatan atas pernikahan beliau, atau beliau mewajibkan para shahabat untuk mencatatkan pernikahan mereka; walaupun perintah untuk menulis (mencatat) beberapa muamalah telah disebutkan di dalam Al-Quran,
Ketiga, jika pernikahan siri dilakukan karena faktor biaya; maka pada kasus semacam ini negara tidak boleh mempidanakan dan menjatuhkan sanksi mukhalafat kepada pelakunya. Pasalnya, orang tersebut tidak mencatatkan pernikahannya dikarenakan ketidakmampuannya; sedangkan syariat tidak membebani seseorang di luar batas kemampuannya.
Nabi saw sendiri melakukan pernikahan, namun kita tidak pernah menemukan riwayat bahwa melakukan pencatatan atas pernikahan beliau, atau beliau mewajibkan para shahabat untuk mencatatkan pernikahan mereka; walaupun perintah untuk menulis (mencatat) beberapa muamalah telah disebutkan di dalam Al-Quran,
Ketiga, jika pernikahan siri dilakukan karena faktor biaya; maka pada kasus semacam ini negara tidak boleh mempidanakan dan menjatuhkan sanksi mukhalafat kepada pelakunya. Pasalnya, orang tersebut tidak mencatatkan pernikahannya dikarenakan ketidakmampuannya; sedangkan syariat tidak membebani seseorang di luar batas kemampuannya.
Keempat, pada dasarnya, Nabi saw telah
mendorong umatnya untuk menyebarluaskan pernikahan dengan menyelenggarakan
walimatul ‘ursy. Anjuran untuk melakukan walimah, walaupun tidak sampai
berhukum wajib akan tetapi nabi sangat menganjurkan (sunnah muakkadah). Nabi saw
bersabda;
حَدَّثَنَا أَوْلِمْوَلَوْ بِشَاةٍ
حَدَّثَنَا أَوْلِمْوَلَوْ بِشَاةٍ
Artinya: “Adakah walimah walaupun dengan seekor kambing”. (HR. Imam Bukhori dan Muslim)
Banyak
hal-hal positif yang dapat diraih seseorang dari penyiaran pernikahan; di
antaranya adalah:
(1)
untuk mencegah munculnya fitnah di tengah-tengah
masyarakat.
(2)
memudahkan masyarakat untuk memberikan kesaksiannya,
jika kelak ada persoalan-persoalan yang menyangkut kedua mempelai.
(3)
memudahkan untuk mengidentifikasi apakah seseorang
sudah menikah atau belum.
Hal semacam ini tentunya berbeda dengan pernikahan yang tidak disiarkan,
atau dirahasiakan. Selain akan menyebabkan munculnya fitnah misalnya jika
perempuan yang dinikahi siri hamil, maka akan muncul dugaan-dugaan negatif dari
masyarakat terhadap perempuan tersebut, pernikahan siri juga akan menyulitkan
pelakunya ketika dimintai persaksian mengenai pernikahannya. Jika ia tidak
memiliki dokumen resmi, maka dalam semua kasus yang membutuhkan persaksian, ia
harus menghadirkan saksi-saksi pernikahan sirinya dan hal ini tentunya akan
sangat menyulitkan dirinya.
Atas dasar itu, anjuran untuk mencatatkan pernikahan di lembaga pencatatan
negara menjadi relevan, demi mewujudkan kemudahan-kemudahan bagi suami isteri
dan masyarakat serta untuk mencegah adanya fitnah.
2.5 Hukum Nikah Beda Agama
Dalam fiqih
Munakahat, maalah nikah dibedakan dalam dua kategori :
1.
Pria Muslim boleh menikah dengan wanita non-muslim
Mayoritas Ulama berpendapat bahwa
wanita non muslim selain Yahudi dan Nasrani, haram dinikahi oleh pria muslim
(Wanita Hindu, Budha, Konghucu, dan lain-lain). Hal ini berdasarkan pada firman
Allah SWT :
وَلا تَنْكِحُوا
الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلأمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ
وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا
وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ أُولَئِكَ
يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ
بِإِذْنِهِ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ
Dan
janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun
dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan
wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin
lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke
neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka
mengambil pelajaran.(QS. Al-Baqarah : 221)
Hanya saja dikalangan para ulama terjadi
perbedaan pendapat mengenai wanita yang haram dinikahi Ibnu Jarir al-Thabari
dan Syaikh Muhammad Anduh nerpendapat, bahwa yang dimaksud musyrikah dalam ayat
itu hanyalah wanita musyrik arab saja, karena bangsa Arab pada saat turunnya
Al-Qur’an tidak mengenal kitab suci. Jadi wanita Cina, India, Jepang dan
lain-lain boleh dinikahi oleh pria muslim.
2. Wanita Muslimah Haram Menikah dengan Pria Non Muslim
Wanita Muslimah haram dinikahi dengan pria non-muslim baik Yahudi maupun
Nsrani yang sesuai pada QS Al Baqarah ayat 221.
Adapun haram mutlaknya wanita muslimah nkah dengan pria non-muslim adalah :
a.
Tidak ada ayat lain yang dapat dipahami sebagai
pengecualian, seperti Al Maidah yang “mengecualikan” wanita Ahli kitab
b.
Dalam Islam Nasab itu mengacu pada pria/suami. akan
menjadi masalah jika ayah non-muslim
mempunyai anak perempuan Islam, karena dia tidak berhak menjadi wali
pernikahannya.
c.
Suami itu ditetapkan sebagai pemimpin bagi seluruh
anggota keluarga (istri dan anaknya). Bagaimana jadinya jika pemimpin
bertentangan dengan ajaran Islam, maka pastilah buruk akibatnya.
Oleh karena itu pernikahan anatara wanita muslimah dengan pria non-muslim
hukumnya tidak sah dan haram. Persetubuan mereka termasuk zina.
2.6 Hukum Nikah Lewat Telephon
Menentukan sah atau tidaknya suatu
nikah, tergantung pada dipenuhinya atau tidaknya rukun-rukun nikah dan
syarat-syaratnya. Secara formal, nikah lewat telepon dapat memenuhi
rukun-rukunnya, yakni adanya calon suami dan istri, dua saksi, wali pengantin
putri, ijab qabul. Namun, jika dilihat dari syarat-syarat dari tiap-tiap
rukunnya, tampaknya ada kelemahan atau kekurangan untuk dipenuhi.
Misalnya identitas calon suami istri
perlu dicek ada atau tidaknya hambatan untuk nikah (baik karena
adanya larangan agama atau peraturan perundangan-undangan) atau ada tidaknya
persetujuan dari kedua belah pihak. Pengecekan masalah ini lewat telepon
sebelum akad nikah adalah cukup sukar. Demikian pula pengecakan tentang
identitas wali yang tidak bisa tanpa taukil, kemudian ia melangsungkan ijab
qabul langsung dengan telepon. Juga para saksi yang hanya mendengar pernyataan
ijab qabul dari wali dan pengantin putera lewat telepon dengan bantuan
mikrofon, tetapi mereka tidak bisa melihat apa yang disaksikan juga kurang
meyakinkan.
Karena itu, menikah lewat telepon itu
tidak diperbolehkan dan tidak sah menurut hukum islam, karena selain terdapat
kelemahan atau kekurangan dan keraguan dalam memenuhi rukun-rukun nikah lewat
dan syarat-syaratnya sebagaimana diuraikan diatas, juga berdasarkan dalil-dalil
syar’i sebagai berikut :
a.
Nikah itu termasuk ibadah. Karena itu,
pelaksanaan nikah harus sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an dan sunah Nabi yang
shahih, berdasarkan kaidah hukum :
الْاَصْلُ فِي ا
لْعِبَا دَةِ حَرَ ا مٌ
“pada dasarnya ibadah itu haram.”
Artinya: dalam masalah ibadah, manusia
tidak boleh membuat-buat (merekayasa) aturan sendiri.
b.
Nikah merupakan peristiwa yang sangat
penting dalam kehidupan manusia, dan itu bukanlah sembarang akad, tetapi
merupakan akad yang mengandung sesuatu yang sakral dan syiar islam serta
tanggung jawab yang berat bagi suami istri, sebagaimana firman Allah dalam
surat An-nisa :21.
وَأَخَذْنَ
مِنْكُمْ مِيثَاقًا غَلِيظًا…..
“...dan mereka (isteri-isterimu) Telah mengambil dari
kamu perjanjian yang kuat.”(Q.S An-nisa : 21)
c.
Nikah lewat telepon dan internet
mengandung resiko tinggi berupa kemungkinan adanya penyalahgunaan atau penipuan
(gharar atau khida’), dan dapat pula menimbulkan keraguan (cafused atau syak),
apakah telah terpenuhi atau tidak rukun-rukun dan syarat-syarat nikahnya dengan
baik. Salah satu syarat yang harus dipenuhi yaitu hadir dalam tempat yang sama
(حضور فِى مَجْلِسٍ وَا حِدٍ).
{فَرْعٌ} يُشْتَرَطُ فِيْ صِحَّةِ عَقْدِ النِّكَا حِ
حُضُوْرٌ اَرْ بَعَةٍ : وَلِىِّ وَزَوْجٍ وَشَا هِدَي عَدْل{فى كفا يت الا خيا ر
الجز :٢,الصفة :٥۱}
(cabang) dan disyaratkan dalam keabsahan akad nikah hadirnya empat orang:
wali, calon pengantin dan dua orang saksi yang adil.( Kifayatul
Akhyar juz 2 hal. 51)
وَمِمَّا تَركهُ مِنْ شُرُوْطِ الشَّا
هِدَ يْنِ السَّمْعَ وَالْبَصَرُ وَالْضَّبْطُ.{ قَوْ لُهُ وَ الضَّبْطُ} اَيْ
لالفَا ظِ وَلِىّ الزَّوْ جَة وَ الزَّوْجُ فَلَا يَكْفِى سَمَا ع الفَا ظهُمَا
فِي وَظلمَة لِاَنَّ الْاَ صْوَات تَشْبِيْه{ فى بجير مى على الخطيب الجز :٣,الصفة
: ٣٣٥ }
Mendengar, melihat dan (dlobith)
membenarkan adalah bagian dari syarat diperkenankannya dua orang saksi.
(pernyataan penyusun ‘wa al dlobthu) maksudnya lafadz (pengucapan) dari wali
pengantin putri dan pengantin pria, maka tidaklah cukup mendengar lafadz
(perkataan) mereka berdua dikegelapan, karena suara itu (mengandung)
keserupaan.(Hasiyah Al-Bujairomi ‘Ala al-Khottib juz 3, hal. 335)
Dikhawatirkan jika akad dilaksanakan
jarak jauh maka akan terjadi manipulasi. Misalnya suaranya di dubbing ataupun
gambarnya dan backgroundnya tidak sesuai dengan kenyataan. Hal ini akan
merugikan pihak perempuan. Karena perempuan harus dihormati, islam mengajarkan
itu. Dan yang demikian itu tidak sesuai dengan hadits Nabi atau kaidah fiqih.
Hadits Nabi saw
دَعْ مَا يَرِ يْبُكَ اِلَى مَا لَا يَرِ يْبُكَ
“Tinggalkanlah sesuatu yang merugikan engkau,
(berpeganglah) dengan sesuatu yang tidak merugikan engkau.”
Dan tidak sesuai dengan kaidah fiqih :
دَرْعُ ا لْمَفَا سِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ ا لْمَصَا لِحِ
“menghindari mafsadah (resiko) harus didahulukan
atas usaha menarik (mencari) maslahah.”
2.7 Hukum Nikah Lewat Internet
Akhir-akhir
ini banyak orang yang menanyakan hukum menikah lewat telpun atau internet,
apakah sah menurut pandangan Syariah ?
Jika tidak
sah, bagaimana solusinya bagi orang-orang yang tempatnya saling berjauhan,
sebagaimana yang terjadi pada diri salah seorang TKW yang bekerja di Hongkong
dengan masa kontrak 2 tahun, kebetulan dia punya kenalan orang dari Solo,
keduanya saling mencintai dan ingin segera melakukan akad pernikahan, sedang
kondisi mereka berdua tidak memungkinkan untuk saling bertemu dalam waktu
secepatnya, apa yang harus mereka kerjakan, menikah lewat telephon atau
internet, atau bagaimana ?
Untuk
menjawab pertanyaan di atas, perlu dijelaskan di sini bahwa proses pernikahan
dalam islam mempunyai aturan-aturan yang ketat. Sebuah akad pernikahan yang sah
harus terpenuhi rukun dan syarat-syaratnya. Rukunnya adalah ijab dan qabul,
sedang syaratnya adalah ijin dari wali perempuan dan kehadiran dua orang saksi.
Ini semua harus dilakukan denganan jelas dan transparan, sehingga tidak ada
unsur penipuan dan pengelabuhan.
Oleh karena
itu, calon suami atau wakilnya harus
hadir di tempat, begitu juga wali perempuan atau wakilnya harus hadir di
tempat, dan kedua saksipun harus hadir di tempat untuk menyaksikan akad
pernikahan.
Maka untuk
menentukan hukumnya, paling tidak ada dua syarat sah nikah yang harus dibahas
terlebih dahulu :
1. Syarat
pertama: calon mempelai laki-laki atau yang mewakilinya harus berada dalam satu
majelis ketika dilangsungkan akad pernikahan dianggap dalam satu majlis,
sehingga transaksi tersebut menjadi sah ?
Dalam hal ini, Majma’ al Fiqh telah
menetapkan hukum penggunaan ponsel, hp, dan internet di dalam melakukan
transaksi, yang isinya sebagai berikut: “Jika transaksi antara kedua pihak
berlangsung dalam satu waktu, sedangkan mereka berdua berjauhan tempatnya,
tetapi menggunakan telephon, maka transaksi antara keduanya dianggap transaksi
antara dua pihak yang bertemu dalam satu majelis.”( Majalah Majma’ al Fiqh al Islami, OKI, periode ke -6 (no: 2/1256)
2. Syarat Kedua: pernikahan tersebut harus disaksikan oleh dua orang
atau lebih.
Pertanyaannya adalah dua saksi
pernikahan tersebut tidak bisa menyaksikan secara langsung akad pernikahan
tersebut, mereka berdua hanya bisa mendengar suara akad pernikahan dari kedua
belah pihak melalui telpun atau internet, apakah persaksian keduanya telah
dianggap sah atau tidak ?
Masalah di atas mirip dengan
masalah persaksian orang buta yang mendengar sebuah transaksi antara dua belah
pihak, apakah persaksian orang buta tersebut sah ?
Para ulama berbeda pendapat dalam
masalah ini :
a.
Pertama menyatakan
bahwa persaksian orang buta tersebut tidak bisa diterima. Ini pendapat
Hanafiyah dan Syafi’iyah.
Berkata al
Kasani: “ Persaksian orang buta tidak diterima dalam semua hal. Karena dia
tidak bisa membedakan antara kedua belah pihak. “ ( Badai’ Shonai’ 3/243 )
Berkata Imam
Syafi’I: “ Jika seseorang memberikan persaksian, sedangkan dia buta dan
mengatakan : saya menetapkannya, sebagaimana saya menetapkan segala sesuatu
dengan mengetahui suaranya atau dengan meraba, maka persaksian orang buta
tersebut tidak bisa diterima, karena suara mempunyai kemiripan satu dengan yang
lainnya, begitu juga rabaan mempunyai kemiripan antara satu dengan yang
lainnya “ ( Al Umm : 7/46 )
b.
Kedua menyatakan
bahwa persaksian orang buta bisa diterima selama dia menyakini suara tersebut.
Ini adalah pendapat Malikiyah dan Hanabilah.
Tersebut di
dalam buku al Mudawanah al Kubra (5/ 43) : “ Apakah dibolehkan seorang
buta memberikan persaksian di dalam masalah perceraian ?
Berkata Imam
Malik: “ Iya, dibolehkan jika ia mengenali suara tersebut. Berkata Ibnu al
Qasim: Aku bertanya kepada Imam Malik: “Seorang laki-laki mendengar tetangganya
dari balik tembok sementara dia tidak melihatnya, ia mendengar tetangga
tersebut mencerai istrinya, kemudian dia menjadi saksi atasnya berdasarkan
suara yang dia kenal ?
Imam Malik
menjawab : persaksiannya diperbolehkan.”
Di dalam
kitab Ad Dzakhirah (10/164) disebutkan: “ Kesaksian orang buta terhadap
pembicaraan diperkenankan (dianggap sah)
Di dalam
kitab Mukhtashor al Khiraqi (hlm : 145) disebutkan: “Diperbolehkan
persaksian orang buta jika dia yakin dengan suara tersebut “
Pendapat
kedua ini berdalil dengan beberapa hadist, diantaranya adalah :
1.
Hadist Abdullah bin Umar ra, bahwasanya nabi Muhammad
saw bersabda : “ Sesungguhnya Bilal mengumandangkan adzan pada waktu malam,
maka makan dan minumlah sampai terdengar adzan Ibnu Maktum “ ( HR Bukhari )
Hadist di
atas menunjukkan bahwa adzan Ibnu Maktum (beliau adalah seorang yang buta)
merupakan persaksian darinya terhadap masuknya waktu sholat. Seandainya
persaksian orang buta tertolak, tentunya adzannya juga tidak sah. Begitu
juga yang mendengar adzan digolongkan orang yang buta, karena hanya mendengar
suara muadzin tanpa melihat secara langsung fisik dari muadzin tersebut, dan
itupun dianggap sah. (Ibnu Abdul Barr, Tamhid: 10/61, An Nawawi, Syarh
Muslim: 7/202, Ibnu Hajar, Fathul Bari : 5/ 265)
2.
Dari Aisyah berkata: “ Pada suatu ketika Rasulullah
saw sholat tahajud di rumahku, dan beliau mendengar suara Ubad yang sedang
sholat di masjid, beliau bertanya “ Wahai Aisyah apakah itu suara Ubad?, saya
menjawab: “Benar“, beliau langsung berdo’a: “Ya Allah berilah kasih sayang
kepada Ubad. “ ( HR Bukhari )
Dua hadist
di atas menunjukkan secara kuat bahwa persaksian orang buta dibolehkan dan
dianggap sah di dalam ibadah dan mua’malah. Jika demikian halnya, bagaimana
hukum persaksian dua orang di dalam akad pernikahan lewat telpun maupun
internet, apakah dianggap sah ?
Orang yang
menikah lewat telpun dan internet tidak lepas dari dua keadaan :
1.
Keadaan Pertama : Salah satu
pihak yang melakukan akad serta dua orang saksi tidak yakin dengan suara pihak
kedua. Maka dalam hal ini, pernikahan lewat telpun dan internet hukumnya tidak
sah.
Inilah yang
diputuskan oleh Lajnah Daimah li al Ifta’ ketika ditanya masalah
tersebut, mereka memutuskan sebagai berikut :Dengan pertimbangan bahwa pada
hari-hari ini banyak penipuan dan manipulasi, serta canggihnya orang untuk meniru
pembicaraan dan suara orang lain, bahkan diantara mereka ada yang bisa meniru
suara sekelompok laki-laki dan perempuan baik yang dewasa maupun yang masih
anak-anak, dia meniru suara dan bahasa mereka yang bermacam-macam sehingga bisa
menyakinkan orang yang mendengar bahwa yang bicara tersebut adalah orang
banyak, padahal sebenarnya hanya satu orang. Sehingga memanipulasi adanya
sebuah penipuan.
2.
Keadaan Kedua : kedua
belah pihak yang melakukan akad sangat mengenal suara antara satu dengan yang
lain, begitu juga dua orang saksi yakin bahwa itu suara dari pihak kedua yang
melakukan akad. Pada kondisi seperti ini, persaksian atas pernikahan tersebut
dianggap sah, dan pernikahannya sah juga. Khususnya dengan kemajuan teknologi
sehingga seseorang bisa bicara langsung dengan pihak kedua melalui gambar dan
suara, sebagaimana yang terdapat dalam teleconference.
Tetapi
walaupun demikian tidak dianjurkan bagi orang yang ingin menikah untuk
menggunakan alat teknologi seperti yang diterangkan di atas kecuali dalam keadaan
terpaksa dan darurat, hal itu untuk sifat kehati-hatian di dalam melakukan
pernikahan karena berhubungan dengan kehormatan seseorang. Wallahu A’lam.
2.8 Hukum Nikah Saat Hamil
jumhur
fuqoha’ (mayoritas ulama) berpendapat, bahwa pezina tidak haram menikah dengan
bukan pezina, dan nikahnya tetap sah karena perbuatan zina tidak mengeluarkan
seseorang dari islam, yang berarti masih nikah sesama orang islam, jadi sah.
Memang Allah SWT berfirman (yang maknanya): “laki laki pezina tidak pantas
menikah selain menikah dengan wanita pezina atau musyrikah, demikian pula
wanita pezina tidak pantas dinikahi oleh selain lal=ki laki pezina atau musyri.
Yang demikian itu dilarang bagi orang orang beriman“ (an-Nuur ayat 3), tetapi
mereka memahami, bahwa kata “dilarang” dalam penutup ayat 3 surat an-Nuur ini
bukan litachriim (untuk mengharamkan) melainkan lidzdzam (untuk mencela).
Bagaimana
halnya dengan menikahi wanita yang
sedang hamil dari perzinaan ? atau dengan ungkapan lain, bagaimana jika wanita
pezina itu dalam keadaan hamil akibat perzinaan, bolehkah dinikahi ?
Imam Abu
Hanifah dan fuqaha’ Syafi’iyyah berpendapat, bahwa menikahi wanita yang hamil
diluar nikah itu boleh, tetapi tidak boleh berhubungan (bersetubuh) sampai dia
melahirkan. Hal ini didasarkan pada makna firman Allah SWT dalam surat an-Nisa’
ayat 23-24 yang menjelaskan tentang
wanita-wanita yang haram dinikahi. Dalam ayat itu sama sekali tidak
disebut=sebut wanita pezina dan wanita hamil karena zina sebagai yang terlarang
dinikahi. Juga atas dasar pemahaman terhadap sebuah hadits , bahwa Rasulullah
SAW bersabdah (yang manknanya): ’’Anak itu dinisbahkan kepada orang yang
seranjang dengan ibunya”(HR. Al Jama’ah selain Abu Dawud, dari Hurairah). Dari
hadis tersebut difahami, bahwa orang yang menikah dengan wanita yang hamil
karena zina hukumnya sah karena jelas, bahwa dia bukan bapak dari anak yang
dikandung, sebab ranjangnya sudah ditiduri oleh orang sebelumnya. Jadi
disamping tidak haram nikah dengan sesama pezina, juga tidak haram pezina nikah
dengan orang lain. Yang dilarang adalah melakukan hubungan seksual sampai
wanita tersebut melahirkan, sebagaimana Rasulullah SAW melarang menyirami kebun
orang lain yang telah mempunyai tanaman (HR at-Turmudziy dari Ruwaifa’).
Larangan yang bernada kiasan ini bertujuan untuk menghindari terjadinya
percampuran keturunan dalam satu rahim.
Di
Indonesia, wanita hamil diluar nikah dapat dinikahkan semasa dia dalam keadaan
hamil. Dalam undang undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan , bab VIII
pasal 53 dinyatakan : (1) Seorang wanita hamil diluar nikah dapat dikawinkan
dengan pria yang menghamilinya, (2) Perkawinan dengan wanita hamil itu dapat
dilangsungkan tanpa menunggu kelahiran anaknya, (3) Dengan dilangsungkanya
perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan lagi perkawinan ulang
setelah anaknya lahir.
Jadi yang
diperbolehkan undang undang ini adalah khusus bagi pria yang menghamilinya,
tidak disebutkan pria lain yang tidak menghamili, tidak disebutkan boleh
tidaknya menikahi wanita hamil yang bukan hasil kerja ranjangnya, Tetapi dapat
dipahami secara implisit, tidak diperbolehkan.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Selain ijab qabul, kesaksian dari dua orang saksi juga merupakan syarat
dari pernikahan, kecuali pendapat Imam Malik. Adanya saksi harus benar-benar
melihat dan mendengar langsung para pihak melakukan ijab qabul. Pernikahan
tidak sah apabila saksi hanya mendengar suara tanpa rupa dari para pihak, sebab
kesaksian saksi yang demikian tidak dapat menimbulkan keyakinan dalam dirinya.
Namun menurut Hanafiyyah dan Ibnu Hajar dari Ulama Syafi’iyah berpendapat,
jika para saksi meyakini bahwa suara (audio) atau gambar (visual) yang ia
dengar dan lihat memang benar-benar dari pihak, maka kesaksiannya dapat
dibenarkan dan pernikahannya sah. Kemudian apabila ditarik kepada pokok masalah
hukum melakukan pernikahan via telekomference, maka kami dapat menyimpulkan
sebagai berikut:
a.
Pernikahan melalui telekomference dalam kontek negara
Indonesia tidak sah karena merujuk beberapa alasan, yaitu :
1.
Para pihak tidak hadir secara fisik dalam satu majelis
sebagaimana yang dipendapatkan oleh Jumhur Ulama.
2.
Alat komunikasi seperti HP, Email, dan yang sah
menurut Undang-undang di Indonesia untuk memutuskan persengketaan hukum. Sebab
keberadaan saksi mengandung hikmah tasyrik yaitu menguatkan dan menetapkan
suatu peristiwa yang terjadi apabila nantinya terjadi persengketaan. Alat
elektronik dalam kontek hukum di Indonesia belum bisa dijadikan sebagai alat
bukti yang sah dan autentik.
b.
Jika salah satu calon mempelai berjauhan dan sulit
untuk hadir, maka ada dua alternatif, yaitu :
1. Membuat surat. Ijab atau Qabul dapat dilakukan melalui sepucuk surat
bermaterai dan membacanya di depan para saksi. Hal ini berpedoman kepada dua
dasar pendapat ulama Hanafiyyah dan sebagian ulama Syafi’iyah yang
memperbolehkan ijab dan qabul memakai surat. Dalam kontek hukum negara
Indonesia, surat yang bermaterai dijadikan alat bukti yang autentik.
2. Mengangkat Wakil. Calon mempelai yang ada di kajauhan dapat mengangkat
seorang wakil untuk melangsungkan ijab atau qabul, tentunya perwakilan tersebut
harus disertai surat mandat bermaterai. Hal ini berdasarkan dua alasan;
pertama, para ulama sepakat bahwa akad pernikahan (ijab qabul) dapat diwakilkan
kepada orang lain, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW.
Kedua, menurut Undang-undang Indonesia, perwakilan dengan disertai surat mandat
resmi (bermaterai) dapat dibenarkan dan mempunyai kekuatan hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Ibrahim, al Bajuri, Semarang:
Toha Putra
Kholiq Muhammad. Fiqih Penunjang
Aktif Belajar, Gresik: CV Putra Kembar Jaya, 2002.
Labib, Risalah Fiqih Islam, Surabaya:
Bintang Usaha Jaya
Maulaya Abu. Fiqih Kontemporer,
Jombang: UNIPDU, 2012.
Suyuti Jalaludin, Jami’ al Shaghir, Beirut: Darul Kutub
Ilmiah
Zuhdi, Masjfuk. Pengantar Ulumul Qur’an, Surabaya: PT Bina
Ilmu, 1987
Tidak ada komentar:
Posting Komentar